Kamis, 31 Januari 2013

Cerita Kursi Taman

“Berapa lama lagi kamu akan termenung seperti itu?” Suara itu mengalihkanku dari renungan sunyi. Aku tidak menyadari ada orang yang duduk di sampingku di kursi taman. Yang aku ingat, ayahku menyuruhku untuk berjalan-jalan ke luar rumah. Aku ingat ayahku tersenyum menyemangati saat memberi saran itu. Tapi, mata sembab itu adalah mata yang menunjukan kelelahan.

Lelah karena melihat aku hanya terus berdiam diri di rumah, diam sambil meratap dan mencaci dunia. Aku berjalan-jalan ke luar rumah bukan karena ingin, aku berjalan-jalan ke luar rumah karena cuma itu yang bisa aku lakukan untuk mengurangi beban keluargaku. Dan, sepertinya hal itu yang mengantarkan langkah kaki ku menuju ke tempat ini. 

“Hei?” Laki-laki yang duduk di sampingku kembali menyapaku, kali ini sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajahku, dia berusaha menarik perhatianku. 
"Kurasa kau berhasil meratapi kesia-sian, karena sekarang kau menjadi bagian dari mereka"

Kalimat itu! Kalimat pria itu!

Dia berhasil menyerabutku dari lembah kesunyian, aku menatap benci padanya. Dia cuma pria kurus dengan jaket kupluk tebal. Apa hak dia mengomentari isi pikiranku. Dia cuma orang asing, dia sama sekali tidak tahu apa permasalahannya. Pria itu hanya memperhatikanku sesaat, kemudian dia mengeluarkan sebuah permen lolipop dari dalam tas selempangnya dan memberikannya kepada ku.

“Aku punya permen, jadi berhentilah menangis” serunya sambil beranjak pergi dari kursi taman 
**** 

Pagi ini aku datang lagi ke taman ini. Berharap bisa bertemu lagi dengan pria aneh kemarin dan menanyakan kenapa dia memberiku permen lolipop. Dan dia memang sedang duduk di sana, masih menggunakan jaket berkupluknya padahal matahari menyengat tajam. Aku duduk di sampingnya, tapi tidak terlalu dekat, aku mengambil posisi sejauh mungkin darinya walaupun kita duduk di kursi yang sama. Dia terlihat sedang menggambar sesuatu di scetch book


“Sssssttt…! Kita mengobrol setelah aku selesai” Pria itu langsung menghentikanku saat mulutku baru saja terbuka. Dia menyuruhku diam bahkan tanpa melihat ke arah ku. 

Dengan kesal aku menutup mulutku kembali dan hanya memperhatikan dia menggambar sesuatu. Dia terlihat asyik menggambar, tapi posisiku terlalu jauh sehingga aku tidak bisa melihat apa yang dia gambar.

“Jadi, apa tujuan mu mencariku?” Tanyanya sambil menutup buku gambarnya, aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu dalam keheningan karena aku terlalu sibuk memperhatikan gerakan tangannya saat menggambar. 
“Kenapa kau memberikanku permen ini?” tanyaku sambil menunjukan permen itu ke depan wajahnya.
“Tentu saja untuk dimakan” Jawabnya pendek 
“Aku tahu permen ini untuk dimakan, tapi kenapa? Kenapa kau memberikan permen?” Tanyaku, sedikit kesal. 
“Keponakanku selalu menangis ketika permennya hilang atau habis, tapi dia akan tersenyum lagi kalau aku berikan permen baru” Jawabnya sambil berdiri dari kursi dan meregangkan pinggangnya. 
“Apa hubungannya denganku?” 
“Kau kehilangan sesuatu, kan? Aku menggatikan sesuatu itu dengan permen loli agar kau bisa berhenti meratap” 
“Aku tidak meratap dan Aku tidak kehilangan permen!” 
“Hahaha…. orang-orang menangis ketika miliknya yang paling berharga hilang. Ekspresi kosong wajahmu menunjukan kalau kamu kehilangan sesuatu yang penting” 
“Aku bukan anak kecil yang menangis karena kehilangan permen” Aku tahu aku tidak marah, tapi suaraku terdengar lebih tinggi dari semestinya. Aku cuma ingin tahu alasan pria ini. 
“Permen adalah sesuatu yang paling keponakanku inginkan dan paling keponakanku sukai. Permen adalah benda paling berharga untuk keponakanku. Karena itu dia selalu menangis ketika permennya habis atau hilang, tapi tangisnya berhenti ketika permen itu diganti. Jadi, apa bedanya permen keponakanku dengan sesuatu yang hilang darimu? 
“Belakangan ini keponakanku tidak pernah menangis lagi kalau permennya hilang, dia belajar permennya yang hilang pasti akan diganti. Dia mulai belajar segala sesuatu tidak bisa bertahan selamanya tapi sesuatu yang hilang pasti akan diganti. Bocah umur 5 tahun bisa mempelajari hal itu dengan mudah, aku bingung kenapa wanita dewasa seperti mu harus terus menangis seperti bayi karena kehilangan sesuatu” Pria itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya 
“Pulang lah, hari sudah semakin sore” serunya sambil meletakkan sebungkus coklat di atas bangku taman dan beranjak pergi meninggalkanku. Aku menatap kosong kepergiannya, menuju ke arah matahari yang beranjak semakin dekat ke peraduannya. Aku tidak sadar kalau waktu telah berlalu secepat itu. 
**** 
Aku datang lagi keesokan harinya, dia masih duduk di tempat yang sama, masih dengan jaket kupluknya dan masih sibuk dengan buku sketsanya. Aku juga duduk lagi di tempat yang sama. Tapi kali ini, aku tahu aku tidak boleh mengajaknya berbicara, dia cuma mau mengobrol ketika pekerjaannya selesai. Jadi, aku cuma duduk diam memperhatikan dia menggambar sambil menikmati hembusan angin. Sekali lagi, aku tidak merasakan waktu berlalu ketika melihat dia menggambar. Tiba-tiba saja dia sudah menutup buku sketsanya, dan meregangkan lagi pinggangnya. 

“Kau sedang menggambar apa?” Tanyaku 
“Hanya kumpulan titik yang membentuk garis” Jawabnya singkat. 
“Boleh aku lihat kumpulan titik itu?” 
“Aku tidak pernah menunjukan gambarku pada orang asing” Jawabnya sambil bersiap-siap untuk pergi.
“Janis, namaku Janis” Kataku 
“Aku Raqin” Serunya sambil tersenyum, 
“kau boleh melihat gambarku besok” Dia beranjak pergi sambil meninggalkan lagi sebatang coklat di atas kursi taman. 

Aku melihat kosong lagi ke arah dia melangkah. Dan aku baru tersadar kalau hari sudah beranjak sore lagi. Kali ini, aku langsung memakan coklat itu. Aku merasa lebih baik ketika memakan sebungkus coklat itu. Nanti, aku akan memakan permen dan coklat yang dia berikan kemarin. 
**** 
Aku datang lagi. Raqin sudah duduk di singsananya, seperti biasa dia sibuk dengan buku sketsanya. Aku juga duduk lagi di sampingnya, diam dan memperhatikan dia menggambar. Waktu berlalu, tiba-tiba saja Raqin sudah menutup buku sketsanya dan kali ini, dia langsung menyodorkannya ke arahku. 

Aku membuka satu persatu halaman buku itu dan terkagum-kagum dengan keahlian Raqin menggambar, lukisan pensil dia nyaris sama dengan foto hitam putih, detail dan terlihat nyata. Aku melihat gambar pengemis yang biasa aku lihat tidur di bawah pohon kigelia di ujung jalan. Aku melihat lukisan kucing yang tertidur nyaman di bawah rimbunan pohon. Aku melihat banyak lukisan lain dengan lingkungan dan wajah-wajah yang aku kenal dan semuanya hanya dilukiskan dengan pensil, namun terlihat seperti difoto dan diberi efek hitam putih.

Halaman terakhir di buku Raqin, aku melihat seorang gadis yang tertunduk sedih di sebuah taman, butuh waktu sepersekian detik sampai aku menyadari kalau gadis dalam gambar itu adalah aku. Ternyata selama ini Raqin sedang menggambarku. 

Gadis itu terlihat sayu dan tidak memiliki jiwa. Aku, aku sedih melihat kesedihan yang tergambar jelas di gambar itu. Kali ini aku menutup wajahku dan menangis sekencang-kencangnya. Kali ini aku bukan menangisi rasa kehilanganku. Kali ini aku menangisi kekosonganku dan betapa menyedikannya aku di mata orang lain. 

Raqin hanya memperhatikanku menangis tersedu-sedu, setelah tangisku mulai reda, dia menaruh lagi sebungkus permen loli pop lagi di pangkuanku dan pergi sambil membawa buku sketsanya. Dan hari pun sudah beranjak sore lagi. 
**** 
Hari ini Raqin terlihat sibuk memperhatikan dua bocah kecil yang bermain ayunan. Aku tidak mau mengganggunya, aku langsung duduk dan menunggunya di kursi kami yang biasa. Dia cukup lama memperhatikan bocah-bocah itu bermain.

Saat mereka selesai, Raqin baru beranjak dari tempat dia berdiri dan mulai berjalan ke arah kursi tempat kami biasa duduk. Dia langsung duduk, membuka buku sketsanya, dan mulai sibuk menggambar lagi tanpa menyapaku. Aku hanya tersenyum dan seperti biasa hanya memperhatikannya bermain dengan pensilnya dan menikmati berlalu waktu yang entah kenapa terasa berjalan lebih cepat saat aku bersama Raqin.

Sore ini, Raqin langsung menutup buku sketsanya, dia hanya tersenyum ke arahku sambil meninggalkan sebungkus Turkish Delight di pangkuanku dan beranjak pergi. Tidak ada obrolan atau gambar hari ini. Mungkin gambarnya belum selesai. Aku memakan Turkish Delight yang Raqin berikan dengan lahap. Dan permen manis lembut itu benar-benar membuat suasana hatiku ceria. 
**** 
Hari ini Raqin datang terlambat, aku sempat kebingungan melihat dia tidak duduk di tempat biasanya. Anehnya aku ketakutan kalau aku tidak bisa melihatnya lagi. Tapi saat dia akhirnya hadir dengan tas selempangnya, menghampiriku dan menyentuh keningku dengan lembut, aku kembali merasa tenang. Dia tidak mengatakan apapun dia hanya langsung duduk dan mulai melanjutkan gambarnya, tapi aku langsung merasakan ketenangan yang sudah lama tidak aku rasakan. 

Aku merasa cukup bisa bertahan hidup hanya dengan ini.

Sorenya, Raqin langsung menunjukkan gambarnya kepadaku. Kali ini gambarnya tentang dua bocah yang bermain ayunan kemarin. Aku tersenyum lebar melihat gambar ini. Aura kebahagian benar-benar terpancar dari wajah dua bocah itu, mereka terlihat tertawa riang. Aku seperti melihat lagi dua bocah itu sedang bermain di hadapanku. 

“Kau suka” Tanya Raqin.

Aku mengangguk penuh semangat Raqin mengambil bukunya dari tanganku, kemudian mencopot gambar itu dari bukunya dan menyerahkannya kepadaku. 

“Simpan ini, supaya kau tidak lupa caranya tertawa” Katanya sambil mengambil tasnya dan mulai beranjak pergi.
“Hari ini kau tidak memberikanku coklat atau permen?” Tanyaku.
“Untuk apa? Hari ini kau sudah belajar melupakan” Seru Raqin sambil melambaikan tangan 
**** 
Aku datang dan datang lagi keesokan harinya, kami tidak bicara terlalu banyak. Kadang aku bercerita sedikit selama Raqin menggambar. Dia hanya menanggapinya dengan tersenyum. Sisanya kami cuma diam dengan kesibukan masing-masing: Raqin dengan lukisannya dan aku menikmati keheningan sambil menunggu melihat mahakaryanya. 

Aku sudah lebih baik sekarang. Aku sudah tidak merasakan lagi luka besar menganga yang meninggalkan kekosongan hampa di dadaku. Aku tidak lagi berteriak dalam sunyi. Bayangan pria itu sudah berhenti mengintai dan memburuku. Aku tidak perlu lagi mencari pengkhianat itu di antara bintang. 

Aku tidak lagi buta menghadapi dunia Raqin mengajariku melupakan dan aku bahagia hidup hanya dengan melihat hasil permainan tangannya di atas kertas. 
Kali ini, aku menang. 
Aku menang dengan menghapus lukisan lelaki itu dari ingatanku. 
Karena aku berhasil menemukan lukisan yang jauh lebih indah. 
**** 
“Ayah, haruskah kita membiarkan Janis tetap dalam kondisinya yang seperti itu?” Ryan menatap sedih adiknya yang sedang terduduk sendirian di bangku taman. 

Belakangan ini, Janis terlihat lebih ceria, tapi Ryan justru merasa adiknya semakin melangkah menjauh dari dunia nyata. Ryan tidak pernah lagi mendengar isakan tertahan Janis dari balik pintu kamarnya, dia juga tidak pernah melihat lagi Janis keluar dari pintu kamarnya dengan mata yang sembab. Janis tidak pernah lagi murung. 

Tapi, setiap hari dia selalu kembali ke kursi taman itu, duduk sendirian dan hanya diam sampai mentari mulai beranjak ke peraduannya di ufuk barat. 

“Mungkin rumah sakit Jiwa adalah tempat terbaik untuk dia saat ini” Seru Ayah sambil menatap Janis dari kejauhan.
“Ayah rasa sekarang saatnya Janis mendapat pertolongannya yang lebih serius. Dia sudah terlalu lama terkurung dalam kesedihannya, dan sekarang dia terkurung dalam penjara pikirannya. Tapi paling tidak, kali ini dia bahagia dalam penjara itu." 

Ayah Janis tersenyum getir melihat senyum lebar dan tulus putrinya yang sudah lama dia tidak lihat. Sayangnya senyum lebar Janis tidak ditunjukkan untuk siapa pun karena dia hanya duduk sendirian di bangku taman itu, sama seperti hari-hari sebelumnya.
-oOo-

Special credit for the picture: Alone by Hidden Target

My Notes: This wasn't my first short story that I dared to be posted so it could be read widely.
Awalnya, cerita ini dirancang untuk melanjutkan cerita lain dari "my partner in dreamland". But I cheated on her, I feel in love with the story that I wrote, so I posted it with only my own name dan memohon izin dia untuk melepaskan bagian cerita ini dari kisahnya.
Dan akhirnya lahirlah judul ini.
Cerita ini pertama kali dipublish untuk mengikuti lomba cerpen. Walaupun akhirnya hanya mendapat respon yang amat sangat buruk (diabaikan oleh para komentator), Saya tetap menyukai cerpen ini karena aura kekosongan yang menguar hebat dari tokoh utamanya.
I hope you enjoy the story

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment, Please... ^^'