Sabtu, 02 Februari 2013

Ujung Persimpangan

In every single world, you will find some person that have an ability to make you as a slave. Make your mind as her/ his hostage.

In my world, orang itu adalah seorang perempuan bernama Rani. Perempuan manis dengan aura rapuh yang menguar dengan kuat. Her special power is kemampuan dia untuk membuat siapa pun merasa simpatik dengan kerapuhan dia.

And maybe I am her victim.

Belakangan ini kami berdua dekat, aku simpatik dengan cerita dia yang terus-terusan disakiti oleh pacarnya. Dan aku juga merasa nyaman dengan kehadiran dia di sampingku.

“Kak, kayaknya kita gak bisa sering-sering ngobrol kayak gini lagi sekarang” Rani menatapku dengan mata sayunya. Dia akhirnya berbicara setelah sekian lama hanya duduk menatapku menyusun huruf-huruf di laptop, sambil memainkan bibir bawahnya. Tanda kalau dia sedang bimbang.


Aku menunggu dia melanjutkan maksud kedatangannya, kali ini aku berhenti bermain dengan laptop ku dan menunggu dia melanjutkan ucapannya.

“Kak Ian suka jadi aneh kalo ngeliat kita ngobrol bareng”
Rani akhirnya mengucapkan maksud kedatangannya. Sedikit rasa marah karena merasa dibuang menohok ulu hatiku. Jadi, niat dia adalah menyuruhku menjauh karena hubungannya sudah membaik dengan kekasih lamanya?

“Terus mau Rani, apa? Gak usah hubungan lagi gitu? Terus emang kenapa? Dari kemaren kita cuma temen, kan? Kenapa Ian mesti sewot?” Kata ku dengan nada setenang mungkin. Menahan semua perasaan terhina karena merasa hanya dimanfaatkan sebagai pelarian.

“Bukan gitu, Kak Angga. Kak Ian agak risih ngeliat kita deket banget,dia suka bete kalo denger Rani ngobrolin Kak Angga. Tapi Rani masih pengen temenan sama Kak Angga” Rani terlihat kaget dengan ucapanku.

“Oke.. kakak ngerti, mulai hari ini, kakak gak akan ngehubungi kamu lagi”

“Kak, bukan itu mau Rani”

“Terus apa? Kalo kita terus ngobrol normal kayak biasa, Kamu sama Ian bakalan berantem juga akhirnya. Terus apa? Kamu bakalan nangis lagi, kan?”

Mata sayu Rani terlihat berkaca-kaca. Damn! Did I hurt her?
Again, she make me feel guilty.

“Ian yang kamu pengen, kan? Sekarang dia juga udah balik lagi sama kamu. Apa yang kamu inginkan udah terpenuhi” Kataku sambil tersenyum “Jadi, Kakak juga udah gak ada manfaatnya lagi di sini, kan?”

Aku berjalan meninggalkannya.

Ya.... buatku itu pilihan yang tepat. Apakah adil mempertahankanku sebagai “obat penahan rasa sakit”. I deserve better and I knew it. Kalau aku melakukan apa yang dia mau. Bukan cuma aku yang merasa terhina tapi Rani juga pada akhirnya akan merasa sakit.
****
Aku melihat Angga melangkah pergi.
Aku tidak mau kehilangan dia, dia adalah sahabat yang baik, teman yang selalu ada saat aku membutuhkannya, dan selalu membuatku tenang saat aku terluka. Tapi kenapa aku harus kehilangan dia ketika akhirnya aku mendapat apa yang aku inginkan.

Ian sudah kembali padaku, tapi aku juga tidak mau kehilangan Angga. Aku cuma ingin dia sedikit menjauh agar perasaan Ian tidak terganggu dengan kehadiran dia.
Tapi kenapa Angga harus memilih untuk pergi?
****
Satu sms menanyakan kabar dari Rani, 3 hari setelah pertemuan terakhir kami. Aku membalasnya dengan “baik” cukup satu kata singkat. Rani membalas lagi dengan menanyakan beberapa hal tidak penting lain dan aku malas membalasnya.

Hari berikutnya, dia meneleponku dan aku tidak mengangkat telepon itu. Aku sedang terlalu sibuk memikirkan tugas akhirku, mungkin aku akan menanyakan kabarnya nanti ketika aku sudah tidak terlalu sibuk.

One day maybe I’ll regret this decision.
But seriously? Did I that type of person?

Aku sempat berpikir mungkin aku menyukai Rani dengan segala kelembutan dan kerapuhannya. Aku benci melihat dia menangis dan disakiti terus oleh Ian. Aku merasa senang ketika dia mempercayaiku dan membiarkanku ikut menanggung rasa sakitnya.

Aku menyayangi dia, tapi apakah itu cinta?
****
Dia tidak membalas sms atau telepon ku. Di kampus pun aku tidak pernah bertemu dengan Angga. Dia menghindariku.
Apakah aku benar-benar telah menyakiti dia?
Apakah dia membenciku?

Sekarang, Ian sudah ada disampingku lagi, tapi aku tidak merasa bahagia sepenuhnya. Aku kehilangan perasaan unik ketika aku ada di samping Angga. Aku rindu saat-saat mengobrol dengan Angga, mendengar suaranya dan menikmati semua perhatiannya. Dan semua perasaan senang itu hilang ketika aku meminta Angga untuk menjauh.

Apakah aku terlalu tamak dengan menginginkan keduanya tetap berada di sampingku?

“Jadi, besok bisa kan bantuin bagiin konsumsi buat seminar?” Ian menarikku dari lamunan.
Aku mengangguk dan tersenyum

“Semangat buat besok, Kak. Rani yakin nilainya pasti bagus” Kataku sambil mengacungkan jempol. Ian terlihat puas dengan jawabanku dia kembali melanjutkan makan siang nasi bakar ayam gorengnya. Dan aku melanjutkan minum jus strawberryku.

Dan saat itu lah aku tidak sengaja melihat Angga masuk ke kantin sambil menggendong ransel besar dengan mengenakan kaos hitam dan celana lapangannya, kulitnya terlihat sedikit lebih gelap dari biasanya, mungkin dia baru saja pulang dari mengambil sampel di lapangan. Dia terlihat jauh lebih gagah dengan penampilan seperti itu.

Aku terus memperhatikannya, dia sepertinya belum menyadari aku ada di kantin. Aku melihat Angga yang mencari minuman di lemari pendingin. Sepertinya dia tidak menemukan minuman yang dicarinya, dan berniat bertanya pada penjaga kantin.

‘Sari temulawak’ seruku dalam hati. Aku tahu betul itu minuman favoritnya. Dan benar saja dia memang menanyakan minuman itu. Aku tersenyum kecil, ternyata aku cukup mengenal Angga sampai tahu apa yang akan dia pesan. Padahal kamu baru dekat setelah aku mulai sering bertengkar dengan Ian.

Aku melihat Angga sedikit kecewa dengan jawaban penjaga kantin, dia kemudian mengambil minuman lain dari lemari pendingin. Dan akhirnya mata kami bertemu.

Tanpa aku sadari aku langsung tersenyum cerah ke arahnya dan Angga membalas senyumku dengan ramah, dia juga menyapa Ian dengan anggukannya.

Ternyata Angga belum berubah, dia masih tetap ramah, dia sama sekali tidak terlihat marah padaku.
Dan saat itulah aku menyadari ada ratusan kupu-kupu kecil berterbangan di dadaku, juga rasa sakit aneh ketika aku mengingat betapa aku merindukan senyuman itu.

Dan aku tahu kalau keputusanku untuk membuatnya menjauh adalah salah satu kesalahan besar yang pernah aku lakukan.
****
Sekitar satu bulan setelah pertemuan terakhir kami, atau mungkin lebih, Aku tidak sengaja melihat Rani dan Ian di kantin. Rani terlihat senang ketika melihatku. Aku tersenyum ke arah Rani dan mengangguk sambil mengangkat tangan ke arah Ian untuk menyapanya. Mereka berdua terlihat bahagia.

Aku berbalik untuk membayar sebotol air mineral yang akhirnya harus aku pilih, karena sari temulawak yang aku cari sudah sekitar seminggu menghilang dari peredaran.

Aku diam sejenak untuk memperhatikan perasaanku, tidak ada riak aneh di hatiku. Aku tersenyum kecil, karena pada akhirnya tahu kalau apapun yang pernah aku rasakan dulu sepertinya saat ini sudah berakhir. Dan saat ini, aku dan Rani mendapatkan apa yang memang pantas kami dapatkan.

And finally I knew, I’ll never regret that decision.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment, Please... ^^'