In every
single world, you will find some person that have an ability to make you as a
slave. Make your mind as her/ his hostage.
In my world,
orang itu adalah seorang perempuan bernama Rani. Perempuan manis dengan aura
rapuh yang menguar dengan kuat. Her special
power is kemampuan dia untuk membuat siapa pun merasa simpatik dengan
kerapuhan dia.
And maybe I
am her victim.
Belakangan ini kami berdua dekat, aku simpatik
dengan cerita dia yang terus-terusan disakiti oleh pacarnya. Dan aku juga
merasa nyaman dengan kehadiran dia di sampingku.
“Kak, kayaknya kita gak bisa sering-sering ngobrol
kayak gini lagi sekarang” Rani menatapku dengan mata sayunya. Dia akhirnya
berbicara setelah sekian lama hanya duduk menatapku menyusun huruf-huruf di
laptop, sambil memainkan bibir bawahnya. Tanda kalau dia sedang bimbang.
“Kak Ian suka jadi aneh kalo ngeliat kita ngobrol
bareng”
Rani akhirnya mengucapkan maksud kedatangannya.
Sedikit rasa marah karena merasa dibuang menohok ulu hatiku. Jadi, niat dia
adalah menyuruhku menjauh karena hubungannya sudah membaik dengan kekasih
lamanya?
“Terus mau Rani, apa? Gak usah hubungan lagi gitu?
Terus emang kenapa? Dari kemaren kita cuma temen, kan? Kenapa Ian mesti sewot?”
Kata ku dengan nada setenang mungkin. Menahan semua perasaan terhina karena
merasa hanya dimanfaatkan sebagai pelarian.
“Bukan gitu, Kak Angga. Kak Ian agak risih ngeliat
kita deket banget,dia suka bete kalo denger Rani ngobrolin Kak Angga. Tapi Rani
masih pengen temenan sama Kak Angga” Rani terlihat kaget dengan ucapanku.
“Oke.. kakak ngerti, mulai hari ini, kakak gak
akan ngehubungi kamu lagi”
“Kak, bukan itu mau Rani”
“Terus apa? Kalo kita terus ngobrol normal kayak
biasa, Kamu sama Ian bakalan berantem juga akhirnya. Terus apa? Kamu bakalan
nangis lagi, kan?”
Mata sayu Rani terlihat berkaca-kaca. Damn! Did I hurt her?
Again, she
make me feel guilty.
“Ian yang kamu pengen, kan? Sekarang dia juga udah
balik lagi sama kamu. Apa yang kamu inginkan udah terpenuhi” Kataku sambil
tersenyum “Jadi, Kakak juga udah gak ada manfaatnya lagi di sini, kan?”
Aku berjalan meninggalkannya.
Ya.... buatku itu pilihan yang tepat. Apakah adil
mempertahankanku sebagai “obat penahan rasa sakit”. I deserve better and I knew it. Kalau aku melakukan apa yang dia
mau. Bukan cuma aku yang merasa terhina tapi Rani juga pada akhirnya akan
merasa sakit.
****
Aku melihat Angga melangkah pergi.
Aku tidak mau kehilangan dia, dia adalah sahabat
yang baik, teman yang selalu ada saat aku membutuhkannya, dan selalu membuatku
tenang saat aku terluka. Tapi kenapa aku harus kehilangan dia ketika akhirnya
aku mendapat apa yang aku inginkan.
Ian sudah kembali padaku, tapi aku juga tidak mau
kehilangan Angga. Aku cuma ingin dia sedikit menjauh agar perasaan Ian tidak
terganggu dengan kehadiran dia.
Tapi kenapa Angga harus memilih untuk pergi?
****
Satu sms menanyakan kabar dari Rani, 3 hari
setelah pertemuan terakhir kami. Aku membalasnya dengan “baik” cukup satu kata
singkat. Rani membalas lagi dengan menanyakan beberapa hal tidak penting lain
dan aku malas membalasnya.
Hari berikutnya, dia
meneleponku dan aku tidak mengangkat telepon itu. Aku sedang terlalu sibuk
memikirkan tugas akhirku, mungkin aku akan menanyakan kabarnya nanti ketika aku
sudah tidak terlalu sibuk.
One day
maybe I’ll regret this decision.
But
seriously? Did I that type of person?
Aku sempat berpikir mungkin aku menyukai Rani
dengan segala kelembutan dan kerapuhannya. Aku benci melihat dia menangis dan
disakiti terus oleh Ian. Aku merasa senang ketika dia mempercayaiku dan
membiarkanku ikut menanggung rasa sakitnya.
Aku menyayangi dia, tapi apakah itu cinta?
****
Dia tidak membalas sms atau telepon ku. Di kampus
pun aku tidak pernah bertemu dengan Angga. Dia menghindariku.
Apakah aku benar-benar telah menyakiti dia?
Apakah dia membenciku?
Sekarang, Ian sudah ada disampingku lagi, tapi aku
tidak merasa bahagia sepenuhnya. Aku kehilangan perasaan unik ketika aku ada di
samping Angga. Aku rindu saat-saat mengobrol dengan Angga, mendengar suaranya
dan menikmati semua perhatiannya. Dan semua perasaan senang itu hilang ketika
aku meminta Angga untuk menjauh.
Apakah aku terlalu tamak dengan menginginkan
keduanya tetap berada di sampingku?
“Jadi, besok bisa kan bantuin bagiin konsumsi buat
seminar?” Ian menarikku dari lamunan.
Aku mengangguk dan tersenyum
“Semangat buat besok, Kak. Rani yakin nilainya
pasti bagus” Kataku sambil mengacungkan jempol. Ian terlihat puas dengan jawabanku
dia kembali melanjutkan makan siang nasi bakar ayam gorengnya. Dan aku
melanjutkan minum jus strawberryku.
Dan saat itu lah aku tidak sengaja melihat Angga
masuk ke kantin sambil menggendong ransel besar dengan mengenakan kaos hitam
dan celana lapangannya, kulitnya terlihat sedikit lebih gelap dari biasanya,
mungkin dia baru saja pulang dari mengambil sampel di lapangan. Dia terlihat
jauh lebih gagah dengan penampilan seperti itu.
Aku terus memperhatikannya, dia sepertinya belum
menyadari aku ada di kantin. Aku melihat Angga yang mencari minuman di lemari
pendingin. Sepertinya dia tidak menemukan minuman yang dicarinya, dan berniat
bertanya pada penjaga kantin.
‘Sari
temulawak’ seruku dalam hati. Aku tahu betul itu minuman favoritnya. Dan
benar saja dia memang menanyakan minuman itu. Aku tersenyum kecil, ternyata aku
cukup mengenal Angga sampai tahu apa yang akan dia pesan. Padahal kamu baru
dekat setelah aku mulai sering bertengkar dengan Ian.
Aku melihat Angga sedikit kecewa dengan jawaban
penjaga kantin, dia kemudian mengambil minuman lain dari lemari pendingin. Dan
akhirnya mata kami bertemu.
Tanpa aku sadari aku langsung tersenyum cerah ke
arahnya dan Angga membalas senyumku dengan ramah, dia juga menyapa Ian dengan
anggukannya.
Ternyata Angga belum berubah, dia masih tetap
ramah, dia sama sekali tidak terlihat marah padaku.
Dan saat itulah aku menyadari ada ratusan
kupu-kupu kecil berterbangan di dadaku, juga rasa sakit aneh ketika aku
mengingat betapa aku merindukan senyuman itu.
Dan aku tahu kalau keputusanku untuk membuatnya
menjauh adalah salah satu kesalahan besar yang pernah aku lakukan.
****
Sekitar satu bulan setelah pertemuan terakhir kami,
atau mungkin lebih, Aku tidak sengaja melihat Rani dan Ian di kantin. Rani
terlihat senang ketika melihatku. Aku tersenyum ke arah Rani dan mengangguk sambil
mengangkat tangan ke arah Ian untuk menyapanya. Mereka berdua terlihat bahagia.
Aku berbalik untuk membayar sebotol air mineral
yang akhirnya harus aku pilih, karena sari temulawak yang aku cari sudah
sekitar seminggu menghilang dari peredaran.
Aku diam sejenak untuk memperhatikan perasaanku,
tidak ada riak aneh di hatiku. Aku tersenyum kecil, karena pada akhirnya tahu
kalau apapun yang pernah aku rasakan dulu sepertinya saat ini sudah berakhir. Dan
saat ini, aku dan Rani mendapatkan apa yang memang pantas kami dapatkan.
And finally I
knew, I’ll never regret that decision.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment, Please... ^^'