Senin, 04 Februari 2013

Prolog

"Bi, simpan pisau itu." 
Kerut khawatir mulai muncul di dahi El. Gestur tangannya mengisyaratkan aku untuk tenang. Tapi aku tidak bisa tenang
Bagaimana mungkin aku bisa tenang?

Aku mempererat pengangan tangan kananku yang sedang memegang pisau dapur ukuran besar sampai buku-buku jariku terasa kebas. Aku tahu benda ini benda berhaya, setidaknya dengan ukuran sebesar ini, jika aku bisa menusuk lurus ke arah perut, aku tahu pisau ini bisa tembus sampai ke organ dalam karena ukuran panjangnya.
Pisau ini berbahaya, dan karena itu El tetap menjaga jarak aman, sekitar 5 meter dariku. Saat ini, dia terlalu jauh dari jangkauan tanganku. Jika memang aku ingin melukai dia separah mungkin dengan pisau, aku tidak  akan mungkin bisa menusuknya dari sini.

"Bi, pisau itu bisa ngelukain kamu. Turunin, Bi. Aku gak ingin kamu kenapa-napa" El mulai menunjukkan wajah sedih dan khawatir. 

El selalu mengkhawatirkan aku. Dia makhluk pertama yang menyayangi aku. Dia makhluk pertama yang menjadi teman baikku. Dan dia satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa tenang.
Tapi dia mengkhianatiku!


Aku merasakan cairan hangat mengalir pelan di sudut mataku. Aku tidak menyangka rasanya akan sesakit ini.

"Kenapa kau berbuat seperti itu, El?" Tanyaku. Pandanganku agak kabur oleh air mata, tapi aku masih bisa melihat El menatapku dengan tatapan sendunya yang hangat.

"Mereka melukai kamu, Bi." Jawab El singkat. Ada sedikit percik kemarahan di matanya, tapi ekspresi mukanya secara keseluruhan menunjukkan kesedihan. Dia juga terluka kalau melihat aku terluka.
Dia selalu terluka saat melihat aku sedih.

"Mereka tidak melukai aku"

"Tapi mereka udah nyakitin hati kamu, Bi!"

"Aku udah biasa disakitin, El. Kamu gak perlu mencelakakan mereka. Perbuatan kamu sama sekali gak bikin aku seneng!"

"Aku harus ngilangin semua yang nyakitin kamu, Bi. Aku bisa ngilangin mereka. Aku bisa ngebunuh seluruh isi dunia cuma biar bisa bikin kamu tersenyum"

"Aku gak butuh kamu ngancurin seluruh dunia cuma untuk bikin aku tersenyum, Karena yang aku butuhin memang bukan itu."

"Apa yang kamu butuh, Bi? Apa kebutuhan kamu yang gak aku tahu? Aku tahu semua hasrat kamu. Aku tahu semua kebutuhan kamu. Kamu bahkan gak perlu bilang apa yang kamu mau, karena aku tahu semuanya."

"Apa yang aku butuh adalah apa yang gak bisa kamu kasih sekarang El. Dan, benda itu disebut sebagai sahabat......."

Aku mengarahkan pisau dapur yang ada ditanganku langsung ke arah leherku. Aku tahu selamanya aku tidak akan pernah bisa membunuh El. 
Karena itu aku yang harus menghilang dari sini.
--oOo--

El terlambat mencegah ketika pisau tajam itu menyayat leher Bian. Garis merah tegas dengan lelehan darah  segar mulai terbentuk di sana. 
Dan El menyadari kalau darah juga ikut menyembur dari lehernya. Dia berusaha menutupi luka panjang itu, tapi Bian melukai lehernya cukup dalam sampai menyentuh pembuluh utama.
Bian melukai leher mereka berdua terlalu dalam.

Bian merasakan pandangannya mengabur dan tangannya melemah. Suara logam dari pisau yang jatuh dari tangannya berdentangan di lantai keramiknya yang berwarna putih. Lututnya mulai terlalu lemah untuk menopang tubuhnya, dan akhirnya Bian terjatuh. Dia juga bisa melihat El ikut terjatuh bersamanya.

Bian menangis, dia bukan menangis karena rasa sakit di lehernya. Luka itu sama sekali belum memunculkan respon sakit. Dia menangis karena pada akhirnya dia harus menghadapi kenyataan.

Dengan tenaga yang tersisa, Bian menyeret badannya mendekati El dan menyandarkan kepalanya di dada El yang bergerak naik-turun dengan cepat. El masih berusaha untuk bertahan, dia mengambil udara dengan rakus karena dia tahu sebentar lagi hidupnya akan berakhir. 
Bian bersandar di sana merasakan semua kehangatan yang mulai memudar, tapi semuanya terasa begitu nyata. Dia masih tidak mau percaya, rasanya terlalu menyakitkan ketika dia menyadari kenyataannya.
El selalu muncul dimanapun saat dia membutuhkan perlindungan, El selalu muncul ketika Bian butuh teman. El tahu apa yang Bian inginkan.

Dulu dia selalu bertanya kenapa, tapi darah yang muncul dari leher mereka berdua adalah jawabannya.

"Aku sayang kamu, Bi. Kita berdua bisa hidup dengan cuma itu. Kenapa kamu harus ngelakuin ini?"
Suara lirih kecil El bermain di dalam kepala Bian dan yang bisa dia lakukan hanya menangis dalam diam. Bian mulai merasakan nafas El mulai melemah seiring dengan kesadaran Bian yang juga semakin memudar. Dan sekarang, Bian mulai menyadari kalau dia hanya sedang berbaring di atas lantai keramiknya yang dingin.
Sendirian.
Dari dulu dia memang selalu sendirian.
Dia cuma butuh sahabat, karena itu dia menciptakan El.
Tapi ketika isi pikirannya bermain dengan kejam, Bian tahu seberapa dalam pun dia menyayangi El dia harus menghilangkan El karena keberadaannya sudah membahayakan orang lain.
Dan dia tidak mungkin menghilangkan El, tanpa melukai dirinya sendiri.
Kalau aku ingin El menghilang, artinya aku juga harus menghilang dari dunia ini.

"Aku juga cinta kamu, El. Maafkan aku........."

Lalu semuanya gelap.

****




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment, Please... ^^'